“The Best Destiny”



Perkampungan Morleke, Pamekasan.

Ada yang menelisik hatiku. Perlahan dan semakin lama membuat sekujur tubuhku tak berdaya, mematung diri. Memo brain’ dalam otak seketika memanas dan membawa alam sadarku pada masa lalu. Di ruang kamar berukuran 4 x 4 aku tertohok sendiri. Termenung terbang dalam kerinduan. Seperti lorong waktu yang menenggelamkan ke putaran waktu beberapa tahun yang lalu.  Kerinduan itu semakin membuatku kepayahan dan  saat itu juga air mataku menganak sungai.
“Aku rindu!!” keluhku pelan.
“Rindu? Siapa yang kau rindui Dind?”
Kaget. Entah sejak kapan suamiku membuka pintu dan mendengarkan keluhanku. Wajar saja aku tak tahu dia datang, mataku kupejam sedari lama. Segera kuraih album foto Rumah Zakat, hadiah pernikahan dari teman-teman relawan dan mini diary book dari teman-teman lingkaranku.
“Ini yang membuatku rindu, Mas.” Kusodorkan dua benda itu ke arahnya.
Dibukanya album dan mini diary. Dilahatnya pelan, halaman 1, halaman 2, halaman 3, dia tersenyum. Menatap mataku lekat.
“Kamu kangen kawan-kawan jembermu?”
Kubereskan air mata yang mengganggu pandanganku.
“Aku kangen mereka. Aku kangen berjuang bersama mereka. Aku kangen mereka tertawa . aku juga kangen saat mereka serius. Aku kangen. Ngadain acara ini acara itu. Lelah memang terlibat kepanitiaan bareng mereka. Tapi lelahnya menyenangkan, Mas. Kau tahu? Sudah banyak momen yang kulalui bersama teman-temanku. Meskipun hanya sekejap.”
“Ceritakanlah lagi yang banyak. Aku menyimak, Dind.
Aku tersenyum. Cermin di rak hias menangkap senyumku juga. Kerudung ungu yang kupakai sedikit terkoyak. Kubenarkan tudungku agar sedap dilihatnya. Dia menyuruhku cerita banyak? 6 bulan pernikahan ternyata membuatnya paham betul bahwa aku paling suka bercerita. Beruntung. Pria di depanku termasuk orang yang suka mendengarkan. Aku bingung hendak bercerita dari bagian mana. Kuarahkan bola mataku ke arahnya.
“Pertama. Aku kangen teman-teman Al-Banna. Al-Banna itu nama kontrakanku yang sederhana. Berlantai tiga. Lantai yang paling atas tak beratap karena dibuat seperti halaman untuk jemuran. Semua bisa dijemur disana. Pakaian, sepatu, kasur, karpet, kerupuk, perasaan pun bisa di jemur disana. Tak beratap, jadi kalau hujan deras bisa dibayangin gimana banjirnya kontrakanku. Hehe.. kebanyakan yang tinggal disana orang Ngawi. Gampang deh ditebaknya siapa yang dari ngawi, soalnya logat bahasa mereka yang jawa banget. anak-anaknya bertipe banyak sekali. ada yang tipe melankolis, sanguinis, plagmatis, perfeksionis, idealis, semuanya ada. Bagaimana tidak? 15 orang lebih ada disana. Tapi inshaallah mereka perempuan-perempuan biasa yang ingin jadi bidadari-bidadari surga. Aku punya sahabat disana. Teman satu angkatan denganku. Asalnya dari Ngawi. Namanya Pipit. Aku kangen dia, Mas. Dia jadi tempatku bercerita, apapun. Ada Mbak Ummu dan Mbak Lail, mereka jago masak dan jago makan. Masakannya asli mantap. Kalau piket harian masak, pasti masakan mereka yang kutunggu-tunggu. Ada mbak Laila Majnun.. hehe.. Mbakku yang paling keren menurutku, karena kesederhanaannya. Septian. Kamu pernah kan ketemu sama dia? Itu loh yang bantuin ngurus persyaratan pindahanku. Ada Tia. Haha super gokil. Semuanya berwarna. Aku kangen mereka semua. Mereka merindukanku juga nggak ya, Mas? Mereka kangen nggak ya??”
Entahlah, tiba-tiba aku sesegukan terharu mengingat kontrakan bertingkat itu. Disekanya air mataku dengan jari-jemari putihnya.
“Teruskan, Dinda. Yang ke dua? Ke tiga? Dan seterusnya?”
“Kedua. Tentang KAMMI Komsat UNEJ, RZ Jember, dan UKKI Masa. Dari semua organisasi yang pernah kuikuti, yang paling membuatku berkesan adalah menjadi relawan Rumah Zakat. Kaosnya warna Orange.sejak kecil aku paling nggak suka warna orange, tapi RZ mengubah Orange menjadi cinta. Semenjak jadi volunteer, aku menyukai warna orange. Memakai kaos orange relawan membuatku bangga bisa ada di dalamnya. Senang sekali mengenal teman-teman perjuangan yang selalu tersenyum untuk berbagi apapun untuk sesama. Berbagi apapun untuk umat. Berbagi senyum, berbagi tenaga, berbagi rizki, berbagi kebahagiaan, berbagi apapun yang bisa dibagi. Disana aku mengenal Ndayu Mendayu. Korel tersiip, menurutku. Meskipun orangnya agak aneh, tapi dia muslimah backpacker yang luar biasa. Aku belajar banyak darinya. Salah satunya belajar berani. Meskipun belum genap setahun perjuanganku di RZ, tapi kesan bersama mereka tak terlupakan. Teman-teman relawan sangat solid dan menganggapku ada. Jadi jangan heran kalau RZ is the best for me. Sampai sekarang aku masih hafal mars dan hymnenya. Kamu ingat Oki Septian? Dia juga relawan RZ lho? Itu tuh yang kita pernah beli es manadonya.”
“Iya ingat. Es manadonya lumayan enak. Kalau bulan puasa kita beli lagi yuk.. hehehe.” Aku mengangguk girang. Rupanya suamiku sangat semangat mendengarkan. Bibirku masih belum kelu untuk melanjutkan cerita. Kulihat jam di handphone. Sudah 13.49. Angin terus berterbangan dari kipas angin di pojok kamar. Mengantarkan kata per kata yang tersampaikan padanya.
“KAMMI dan MASA. Selain PII, aku belajar banyak berorganisasi di KAMMI dan MASA. Berjuang bersama mereka menyenangkan. Kadang juga ada saja orang yang membuatku sebal setelah lelah berjuang. Astagfirullah. Syuro. Haha.. syuro perdanaku yaa di KAMMI dan MASA. Soalnya kalau di PII namanya bukan syuro, tapi rapat. Hehe. Aku kangen ngonsep acara bareng mereka, aku kangen cari dana sama mereka. Kangen cari peserta. Kangen aksi. Kangen kajian. Kangen taklim bareng. Lucu lho.. kalau rapat kepanitiaan kan biasanya pake hijab, biasanya hijabnya kalau gak tirai ya tembok.. hehe.. kalau sudah hari H acara kan gak ada hijab tirai tebok lagi.. jadi ikhwan-ikhwannya nunduk-nunduk gitu. Tapi ada juga sih yang agak jelalatan.. haha. Ikhwan jelalatan? Apa kata dunia? Hehehe.. di KAMMI biasanya aku sama Pipit, Nurul, Lia, Septian, Tia, Mbak Laila, Mbak Ummu, dan banyak lagi. Banyak lho dari mereka yang datang ke pernikahan kita kemarin. Sekarang aku merasa kehilangan mereka, Mas. Menyesal, karena dulu tak memaksimalkan peranku di organisasi itu. Kadang kalau sebagian dari mereka posting poster kegiatan di Facebook iri deh rasanya. Pengen ikutan. Tapi apa daya?”
Terdengar suara ricikan air berjatuhan, kuterka itu bunyi hujan. Tiba-tiba suhu kamar mendingin. Entah isyarat tak sengaja apa yang kutunjukan padanya, tiba-tiba suamiku mematikan kipas angin. Aku tersenyum tanda terimakasih. Kulanjutkan cerita yang tinggal sepenggal lagi.
“Masih mau mendengarkan?”
“Tentu saja” sambil mengulum senyumnya.
“Ketiga. Kampusku dan semua yang ada di dalamnya. Berbeda sekali kampusku sekarang dengan yang dulu. Begitu pun teman-temanku. Berbeda. Kuakui kampusku di Jember jauh lebih keren dan besar daripada kampusku sekarang.” Dengan wajah sedih, kuhentikan ceritaku. Kutarik dua lembar Tissue untuk menyapu kesedihan di kelopak mata.
“Kalau mengingat Unej, perasaan menyesal selalu memborbardirku. Banyak yang mengemankan kepindahanku dari sana. Salah satunya Bu Chumi. Dosen wali sekaligus dosen yang paling dekat denganku. Aku kangen teman-temanku. Nurma, Nisa, Ara, Ninis, Ana, Shinta. Biasanya aku ngapain-ngapain di kampus ya sama mereka. Kalau sudah tiba di kampus, yang pertama kali kucari pasti mereka,  bukan yang lain. Terutama Si Nurma. Sudah dekat banget aku sama dia, saking deketnya dia sering manja sama aku. Minta dianter kesini kesitu. Kadang nyebelin juga sih tu orang. Hehe.. kangen aku, Mas. Sekarang? Aku harus mulai dari nol lagi. Mulai adapatasi lagi. Susah juga cari sahabat di kampusku yang sekarang. Organisasi pun hanya sedikit. Gak ada UKKI, gak ada KAMMI. Sepi rasanya.”
“Sudah ceritanya?”
“sudah kok. Makasih ya, Mas sudah jadi pendengar yang baik hari ini. Perasaanku jadi lega dan nggak gundah lagi.” Aku memikirkan hadiah apa yang akan kuberikan padanya. Tiba-tiba bayangan-bayangan makanan memutar mengelilingi kepalaku. “Sate Pisang Coklat Keju sepertinya enak untuk kuhidangkan malam nanti.” Desisku dalam hati.
Dind, bolehkan Mas bertanya?”
“Tentu saja, Mas. Mas mau bicara apa?”
Diusapnya tanganya lembut ke kepalaku. Tersenyum. Gigi-giginya yang rapi sempat kulihat.
“Dinda, kamu menyesal menikah denganku dan tinggal disini? Meninggalkan semua kegiatanmu di Jember?”
Deg. Pertanyaannya membuatku mengerutkan dahi.  “Apakah ceritaku tadi membuatnya mengira aku menyesal atas semua ini?” Pradugaku dalam hati. segera kujawab dengan penuh yakinnya.
“Mana bisa kukatakan aku menyesel menikah denganmu, atas semua kebahagiaan yang kau berikan padaku, Mas. Tak ada setitik penyesalan. Setitik pun tidak. Aku bahagia sakinah denganmu. Maaf jika ceritaku tadi membuatmu berpikir seperti itu.”
“Alhamdulillah. Aku senang mendengarnya. Dind, usiamu sekarang 20 tahun bukan? Wajar saja kau rindukan itu semua. Karena menurutku kamu masih belum selesai disana. Tapi jangan sampai hal itu membuatmu larut dalam kesedihan karena kehilangan. Inshaallah mereka merindukanmu juga kok. Disini kita punya PR besar untuk meneruskan dakwah kita di kota rantau dulu. Mau kan dinda dakwah bareng abang?”
Kutarik bibirku tersenyum geli. “inshaallah, Mas.”
“Menikah muda tak mudah Dinda, butuh perjuangan yang amat. Harus rela berkorban. Harus bisa menerima. Dan jika keberadaanmu disini membuatmu lebih baik dari di jember, inshaallah itu berkah dari Allah. Inshaallah barokah. Artinya, keberkahan dari Allah menandakan Dia Ridho dengan pernikahan kita. Cukuplah ridho Allah yang membuat hati kita damai. Jika Allah sudah meridhoi, bukankah sudah tak ada bimbang apapaun dalam hati?”.
Bagai embun menari diatas dedaunan hijau, segar dan mendamaikan. Petuahnya seperti obat dari sakitku. Quote ‘semua penyakit ada obatnya’ berlaku juga untuk kasus ini. “Makasih ya, Mas. Nasihatmu bikin aku tenang.” Sesungging senyum kuleburkan untuknya.
“Dinda, semua manusia yang hidup pasti sudah merancang rencana hidupnya. Sudah menentukan keinginan-keinginannya. Sekolah, kuliah di kampus beken, mapan kerja, menikah dengan pasangan yang pantas, punya anak tiga yang cantik dan tampan, beli rumah, beli mobil, dan sebagainya. Sebagian umum rencana hidup manusia seperti itu kan? Semuanya serba perfect. Serba mulus. Tidak ada yang salah memang. Merencanakan hidup semaksimal mungkin. Megikhtiarkan dengan keras. Minta Allah sebesar-besarnya. Tapi yang perlu diingat, rencana manusia tak semua sejalan dengan rencana-Nya. Hidup manusia tak seideal yang mereka rencanakan. Pasti ada hal yang tak pernah kita duga, hal yang tak menyenangkan, menjadi bagian dari takdir hidup kita. Apakah kita menyalahkan Allah karena tak mengabulkan apa yang menjadi ingin kita? Atau seperti orag atheis, yang bunuh diri ketika hal buruk terjadi padanya?”
Aku masih tak bergerak mendengarkannya. Menakjubkan kalimat-kalimat yang dibuat orang didepanku ini. Seperti hipnotis yang membuatku tak berdaya. Tercengang. Apakah harus kukatakan, aku beruntung menjadi…. Ah! Sebaiknya tidak.
“Kita orang beriman dan kita bukan atheis. Orang beriman akan menerima semua ketentuan Allah. Dia tetap tenang-tenang saja menjalani hidupnya. Karena dia yakin, semua yang diatur-Nya adalah yang terbaik untuk dirinya. Dia yakin tak ada yang sulit, karena ada banyak kemudahan di belakangnya. Dia tak risau, karena dirinyai punya Allah. Sabar dan syukur, itu kendalinya. Bukankah segala perkara urusan orang beriman adalah kebaikan? Jika mendapat nikmat dia bersyukur, dan syukur itu baik baginya. Dan jika ditimpa musibah dia bersabar, dan sabar itu baik baginya.”
Tanpa dikomando tanganku bertepuk tangan tanda puas. Bagaimana hendak kulukiskan rasa puas dan lega ini? Mungkin seperti bocah kecil yang melonjak-lonjak di pangkuan ibunya. Mungkin juga seperti lebah yang gemuk karena asupan nektar dari bunga. Aku sekarang lebih paham tentang hakikat takdir. Lebih paham dari sebelumnya tentang apa itu sabar dan syukur. Dan yang jelas menancap di hati, bahwa Allah lah sebaik-baik surtadara kehidupan. Tak ada yang terjadi melainkan Ia yang menggerakkan.
“Mas, aku mencintaimu. Terimakasih telah menjadi suami sekaligus sahabat untukku hari ini. Tiba-tiba banyak sekali ide-ide yang semerawutan tentang gerak dakwahku di Kampus. Mas yang beri umpan dan aku yang menangkapnya. Meskipun aku sendirian di kampus dan harus memulai dari nol lagi, inshaallah dengan ijin Allah, aku optimis bisa. Paling tidak aku bisa memberi manfaat untuk teman-teman dan lingkungan tempatku hidup sekarang.”
Hujan yang reda meninggalkan bekas di tanah. Matahari mulai bergesar merangkak ke barat. Langit berubah menjadi kelam. Ada sedikit bintang yang mengerlip. Mana bulan? Sejahat itukah ia tak mau menemani kegembiraanku?  Aroma harum berterbangan di setiap sudut ruang rumah besar ini. coklat cair, parutan keju, menutupi pisang-pisang panggangku. Kunamai sate pisang ini dengan nama Satpis Cinta. Karena ia hadir dengan cinta untuk yang tercinta.
-0o0-

Intan Mauliddiana
Bersama gelapnya langit yang terlukis indah pukul 9.56 pm



Jika diam membuatmu tenang, berdiamlah sejenak
Namun jika bicara adalah lebih baik darinya maka bicaralah
Itu lebih baik daripada menahan luka terlalu lama
Karena hati butuh senyuman untuk membuatnya tetap terjaga. -HK

0 komentar:

Posting Komentar

My Friends