BIDADARI UNTUKKU
BIDADARI UNTUKKU
Oleh Intan Mauliddiana
Pukul 21.00 waktu
Indonesia bagian barat. Di atas sana bulan sempurna membulat, mengeluarkan
cahaya putihnya yang mengagumkan. Di atas sana juga, kerlip milyaran bintang
sempurna menari membentuk rasi-rasi yang mengagumkan. Rasi bintang. Ada banyak
sekali susunan rasi bintang di langit. Beberapa diantara mereka masuk ke dalam
barisan zodiak. Entah siapa yang mengarang ramalan horoskop itu. Bagiku semua
omong kosong! Aku tak pernah mempercayainya dan tak akan untuk kedepannya.
Meskipun ia membicarakan tentang ramalan asmaraku.
Namaku
Juna. Aku adalah seorang bujang. Aku hanya bekerja sebagai guru les matematika
di sebuah lembaga bimbingan belajar di Malang. Entah kapan perempuanku datang
padaku. Kadang aku lelah dengan semua ini. Sudah 15 kali aku mencoba mengenal
perempuan, dan semuanya gagal. Apa karena kulitku yang legam yang membuat
mereka menolakku. Apa karena kekurang tampanan wajahku yang membuat mereka
menolakku. Entah, semua itu hanya alasan-alasan yang kuterka sendiri. Mereka
menolakku dengan alasan tidak cocok. Tapi mereka tidak pernah bilang apa itu.
Ya sudahlah, ini adalah bagian dari takdirku.
***
Tentang
jodoh, aku sangat percaya bahwa Allah sudah menyiapkan jodoh tiap masing-masing
orang. Ketika kata kapan muncul
sebagai pertanyaan, maka jawabannya adalah di saat yang tepat. Itu bagian dari
skenario Allah yang kita tak akan pernah tahu sebelum waktu itu tiba. Dan
sekarang aku sedang ikhtiar menjemputnya, menjemput bidadariku.
“Ini
teman yang kuceritakan kemarin, namanya Aisyah.” Temanku megenalkan perempuan
yang ingin dijodohkan padaku. Aku sekejap melihatnya. Dia seorang Muslimah.
Proses
pertemuanku dengan Aisyah sudah selesai. Aku menungu jawabannya untuk proses
perkenalan yang lebih jauh. Aku sudah mantap dengannya, karena satu alasanku, dia
muslimah. Satu, dua, tiga hari kutunggu. Hari ke empat aku mendapatkan jawaban
dari temanku yang menjadi perantara.
“Aisyah
Menolak, Jun. Katanya dia merasa ndak cocok.”
Aku
berusaha bersikap senormal mungkin, meski aku merasa sedih. Proses ke duaku gagal.
Aku kembali ingat tentang proses pertamaku dulu. Belum lima menit pertemuan
kami, gadis itu segera meninggalkanku setelah melihatku dengan seksama, tanpa
kata. Proses pertamaku terjadi saat umurku masih 25 tahun. karena penolakan itu
aku merasa malas untuk berproses lagi. Sampai suatu hari, Ibu sering menanyaiku
kapan aku menikah, melihat umurku yang hampir berkepala tiga. Itu yang menjadi sebab aku memulai untuk
berproses lagi.
“Tika
Menolak, Jun. Katanya dia merasa ndak cocok.”
Proses
ketigaku gagal lagi. Dan aku harus bangkit untuk memulainya kembali. Ya, Tuhan.
Kadang aku berpikir kenapa Allah mempersulit jodohku. Lihatlah aku, apa
salahku. Aku sama-sama memiliki kesempatan dengan pria-pria yang lain untuk
menikah, kenapa Allah menyulitkanku sedangkan kawan-kawanku mudah saja bertemu
dengan jodohnya. “Jodohmu masih berusaha untuk belajar menjadi istri sholihah
untukmu, Juna.” Kalimat penenang itu selalu bisa menjadi obat hatiku yang sedang
gulana.
“Wanda
Menolak, Jun. Katanya dia keberatan dengan pekerjaanmu. Orang tua Wanda pasang
harga tinggi soal itu.”
Aku
tersenyum kecut menyimak ustadz yang menjadi perantaraku. Untuk ke-10 kali aku
gagal berproses dengan perempuan. Tuhan, seburuk inikah aku? Aku benar-benar
tidak habis pikir. Sepuluh perempuan yang berbeda, berlatar belakang berbeda
juga sempurna menolakku. Tak ada satu kesempatan saja yang diberikan mereka
untukku. apakah seburuk inikah wajahku? Seburuk inikah pekerjaanku.
Ibu
bertambah sering menanyakan hal itu padaku. Semakin hari semakin sering.
Membuatku terbebani dengan keadaanku ini.
“Ibu
pingin gendong cucu, Nak. Ayo lah Nak cepat nikah. Itu teman-temanmu juga sudah
pada nikah. Kamu kapan?”
“Sabar
to Bu, ini Juna lagi nyari. Doakan terus Juna, Bu. Biar bisa kasih Ibu menantu
sholihah. Bu, emang Juna jelek banget ya. Kok ya ndak ada perempuan yang mau
sama Juna.”
“Nak…
nak…. Kamu mau cari istri yang gimana? Perempuan sholihah itu bukan nyari yang
cakep. Tapi cari yang sholih. Ibu terus do’ain kamu, Nak.”
***
“Pantas
saja kau belum juga menikah, Juna. Coba lihat, mana ada perempuan yang mau sama
kamu. Kamu hitam, pesek, dan tuh liat bibirmu. Domble! Ha, ha, ha. Sudahlah,
Juan. Terima saja nasibmu jadi bujang lapuk!”
Aku
ingin marah saja mendengar ledekan dari teman kerjaku. Dia memang tidak suka
jika aku mengajar di Bimbel ini. Aku tak pernah tahu apa sebab yang membuat ia bersikap
begitu. Tapi, jika kuladeni omongannya, tak ada beda aku dengannya.
Sekarang
umurku sudah 42 tahun. dia belum juga datang. Aku berpikir lagi, aku keras ikhtiar
mencari jodoh tapi aku sendiri tidak keras beribadah pada Allah. Sejak saat itu
aku segera memperbaiki ibadahku. Aku memutuskan untuk belajar menghafal Al-Qur’an
di salah satu ma’had tahfidz Qur’an di Malang. Dua tahun aku mondok aku
sempurna bergelar al hafidz. Dua tahun itu juga kusibukkan waktuku untuk belajar
agama lebih dalam. Hingga pada suatu waktu, aku dipercaya Pak Kiyai untuk
memimpin ta’lim rutin di pesantren ini.
“Malam
ini saya akan memberikan sebuah pengumuman untuk para jamaah yang hadir
disini.” Usai acara ta’lim rutin, Pak Kiyai akan memberikan pengumuman pada
kami semua. Aku menyimak betul apa yang dituturkan Pak Kiyai, guru besarku. Aku
tak pernah tahu apa pengumuman itu, hingga kalimat selanjutnya mengudara di
telingaku.
“Malam
ini, disaksikan ratusan jamaah yang hadir disini, saya akan menikahkan putri
bungsu saya yang bernama Sarah Azizah dengan salah seorang pria disini. Laki-laki
itu adalah Juna Hidayatullah. Nikahilah putriku dengan mahar yang kau mampu”
Aku
sontak kaget dengan penuturan beliau. Gemetar mendengarnya, aku pun hanya bisa
duduk terdiam. Masih belum mempercayainya. Putri seorang Kiyai penghafal
Al-Qur’an. Allah… inikah alasannya Kau belum juga mengirimkannya padaku. Allah
menyuruhku pergi ke pesantren ini, untuk bertemu jodohku. Jodoh yang tak pernah
sedikitpun terbayang di kepalaku. Penolakan-penolakan itu membuatku dekat
dengan jodohku.
***
“Saya
terima nikahnya, Sarah Azizah binti Mohammad Saiful Anam dengan mas kawin
tersebut, tunai.”
“Sah!”
Hujan
berjatuhan saat perjanjian agung yang mengguncang arsy berlangsung. Seolah dia
menangis kehilangan bidadari langit yang jatuh padaku. Sarah, sekarang dia
milikku. Lihatlah, betapa cantiknya dia, dan lihatlah aku, betapa buruknya
rupaku. Tapi aku punya iman dan taqwa yang lebih mahal daripada ketampanan
ataupun kekayaan. Aku mendapatkan bidadari yang menyenangkan. Aku seakan
melayang jauh, terbang tanpa sayap.
“Dulu,
aku ingin sekali melihat bulan yang itu pada satu bingkai jendela yang sama
bersama suamiku. Dan sekarang aku bisa melakukannya denganmu.” Deg. Aku
tersenyum malu mendengar kalimat itu dari mulut Sarah. Aku benar-benar
melayang. Terbang tanpa sayap.
0 komentar:
Posting Komentar