Hidayah Untukku

Siang itu sangat panas. Seperti biasanya, Ayah yang bekerja sebagai guru agama islam di salah satu SMA ternama di kotaku pulang dari sekolah tempat ia membanting tulang. Aku menanti Ayah. Begitu menantinya. Tak sabar mendengar kabar apakah aku diterima atau ditolak di sekolah tempat ayah bekerja. SMA ayah itu sekolah favoritku. Ingin sekali aku mengenyam ilmu disana. Awan putih sangat ceria menemani surya. Seceria hatiku ketika ayah memberitahu kabar gembira untukku. “Nduk, kamu diterima di sekolah Ayah. Selamat ya,” ucap Ayah. Mendengarnya mataku berlinang. Bukan. Bukan karena sedih. Bahagia hatiku mendengarnya. Akhirnya, mimpiku terkabul. Ya, aku telah menjadi pelajar SMA favorit di kotaku.
“Memakai jilbab? Berhijab? Aku tidak mau. Sungguh. Jangan paksa aku Bunda. Jangan paksa aku Ayah”. Ayah seorang guru agama. Orang tuaku menyuruhku untuk berhijab. Kata Ayah, aku sudah besar, sudah baligh pula. Wajib hukumnya bagiku untuk berjilbab. Tapi tetap, aku tidak mau. Jilbab itu bikin gerah. Panas. Apalagi matahari jaman sekarang panasnya bukan main. “Nduk, Ayahmu guru agama. Apa Mirza mau buat Ayah malu karena kamu tidak pakai jilbab? Ayah menasihati muridnya untuk tutup aurat. Tapi anaknya sendiri rambutnya masih belum ditutup,” ucap Bunda. Aku ingin berontak rasanya. Aku tidak ingin dipaksa. ‘Tapi Za, kamu juga nggak boleh egois”, sibakku dalam hati. Sudah. Aku ingin berpikir dulu. Ingin ku pertimbangkan dulu tentang jilbab itu. Beri aku waktu.
Pagi yang mendung. Awan masih belum mau memutih. Langit masih belum mau membiru. Aku tiba di sekolahku. Aku masih ingat. Saat itu hari senin. Murid-murid memakai seragam putih-putih. Ah, senyum teman-teman baruku masih membekas di ingatanku. Senyum bahagia dengan seragam putih mereka. Jilbab putihku tersibak oleh angin yang tiba-tiba datang. Ya. Aku telah berjilbab. Aku berhijab. Namun, jilbabku saat itu bukan dari hatiku. Tidak ada rasa puas apapun ketika aku memakainya. Jelas. Karena memang aku berjilbab karena orang tua. Bukan karena hatiku yang menginginkannya. Bukan karena Allah. Tapi, karena Bundaku. Karena Ayahku.
Aku jalani hari-hariku sebagai pelajar pada umumnya. Jilbabku ku kenakan pada saat sekolah saja. Di luar sekolah rambutku masih terurai hitam. Hingga suatu ketika, terbesit keinginan untuk ikut rohis di sekolahku. Entah. Tiba-tiba saja aku ingin ikut. Aku bertemu dengan orang-orang luar biasa disana. Bertemu dengan perempuan-perempuan yang anggun dengan jilbabnya. Hatiku berdesir memandang mereka. Begitu anggun. Sangat mempesona. Pernah terbesit di otakku, apakah mereka sama sepertiku? Memakai jilbab karena di paksa? Hanya karena orang tua kah? Entahlah. Aku belum menemukan jawabannya.
Kegiatan di rohis mulai ku ikuti. Entah kenapa hati ini ingin sekali mengikuti kegiatan-kegiatan Rohis SMA-ku. Tak ingin rasanya tertinggal satu saja. Tapi aku yakin, yang menggerakkan hati ini adalah Allah. “Kenapa kita harus berjilbab?” terdengar suara mbak Dewi yang sedang mengisi kajian kemuslimahan di Rohisku. Disinilah ku dapatkan hidayahku. Masih terngiang di dua telingaku nasihat beliau. “Berhijab, wajib hukumnya untuk perempuan yang sudah baligh. Kenapa kalian masih ragu dengan perintah itu? Sedangkan Allah sendiri yang menyuruhnya melalui Al-Qur’an Qareem. Apakah kalian masih ragu? Apa yang membuat kalian ragu lagi? Dalam QS. An-Nur: 31 pun sudah jelas perintahnya. “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya)…” takutlah kalian pada Allah, takutlah kalian pada panasya api neraka. cukuplah Allah yang menjadi alasan kalian untuk berjilbab.” nasihat beliau.

Hatiku getir. Aku menyesal karena telah mempermainkan jilbabku. Aku baru menyadarinya, jilbabku adalah pelindungku dari panasnya jilatan api di Neraka. gerah memang memakai jilbab. Panas memang. Apalagi saat matahari sedang panas-panasnya. Tapi, aku baru sadar saat itu, bahwa panas matahari di dunia tak ada apa-apanya dari panasnya Padang Mahsyar.  Bahwa panas di dunia tidak ada apa-apanya dari panasnya Neraka di akhirat kelak. Jilbab pun akan melindungiku dari mata-mata nakal. Jilbab akan memberikan kesejukan untukku, ketika aku memakainya dengan hati. Jilbab akan memuliakanku. Jilbab pun akan menjaga kehormatanku. Kini, aku merasakan damai luar biasa dengan hijabku. Karena hijab melindungiku. Hijab, I’m in love.

HK-20072013

0 komentar:

Posting Komentar

My Friends