“Nayla!”
Suara itu
bergeming memanggilnya dari kejauhan. Nayla menoleh mencari sumber suara yang
ia kenal itu. Tiba-tiba ia melotot melihat sahabat lamanya yang tiba-tiba
muncul di depan kedua mata sipitnya.
“Sinta. Benar ini
Sinta?” sambil mengucek dua matanya tak percaya.
“Iya Nayla
sayang, ini Sinta yang sering pencet-pencet hidungmu dulu, hehe,” sambil
memencet hidung Nayla. Saat mereka masih bersama di SMA dulu, Sinta sering
sekali memencet hidungnya karena gemas dengan hidung Nayla yang pesek seakan
tak bertulang.
Sinta adalah
sahabat dekat Nayla. Mereka berteman sejak kelas satu SMA. Begitu dekatnya
sampai teman-temannya menyebut mereka dengan sebutan ‘Dua Sejoli’. Nayla masih
tak percaya sahabatnya bisa berada di kampusnya, UB. Padahal Sinta kuliah di
ITB.
Tidak terasa,
rupanya dua sejoli ini sudah tiga tahun tidak bertemu. Nayla terheran dengan
sahabatnya. Sinta sudah berubah lebih anggun dari yang terakhir ia lihat. Sinta
sekarang berjilbab. Jilbabnya menjuntai panjang menutupi dadanya. Menggetarkan
hati Nayla kala memandangnya.
Empat langkah itu
beriringan menyusuri jalan dengan suara candaan. Mengeluarkan kerinduan dua
hati yang lama tak bertemu pandang. Merekatkan gandeng tangan. Angin menyentuh
lembut rambut hitam Nayla dan menyibakkan ujung kerudung biru panjang Sinta. Surya
menuai keemasannya, langit memerah karena sinarnya. Burung-burung melayangkan
sepasang sayap terbang mengangkasa pulang dan bumi pun merindukan terang sinar
bulan.
***
Sore itu juga
mereka sampai di kontrakan Nayla. Dengan dua kantong plastik yang dibawanya,
Nayla membuka pintu coklat yang ada di dedapannya.
“Silahkan masuk tuan putri,” candanya terhadap
Sinta.
“Terimakasih
Pengawal, hehe,” balasnya dengan canda juga.
Nayla mengantar
Sinta menuju kamarnya. Mempersilahkan sahabatnya untuk beristirahat. Nayla
segera menuju dapur yang berada di pojok kanan rumah untuk menyiapkan wejangan.
Sudah tiga tahun lebih Nayla menghuni kontrakan itu. Ia sangat hapal setiap
lekuknya, bahkan mungkin juga setiap kejadian yang pernah tertoreh disana.
Namun, ruang yang paling Nayla suka setelah kamarnya yaitu dapur.
Sinta menatap
setiap sudut ruang kamar Nayla. Rapi, bersih, wangi, dan teratur. Itulah
komentarnya dalam hati. Ia tersenyum mengingat sahabatnya. Sahabat yang
dicintainya. Tiba-tiba pandangan Sinta tertuju pada foto persegi diatas meja.
Foto Nayla.
“Nayla cantik,” pujinya
dalam hati. “Dia baik, sangat baik. Hatiya seperti menolak melakukan sesuatu
yang buruk. Dia juga pandai dan mandiri. Kuliah saja gratis. Tapi sayang, dia
belum mengambil pakaian taqwa itu. Tapi sayang, dia belum memakai jilbab itu.”
Tiba-tiba rasa
bersalah dan menyesal menghampiri hati dan otak Sinta. Ia sangat merasa
bersalah karena ia belum bisa menyaksikan sahabatnya cantik dengan balutan baju
yang menutupi semua perhiasannya. Ia merasa menyesal karena ia belum berhasil
mengajak sahabatnya seperti dirinya. Terjaga dengan pakaian taqwanya dan indah
dengan kerudung panjangnya.
Embun matanya
menetes dari ujung dua mata. Ia ingat dengan sebuah ayat-ayat cinta dalam
Al-Qur’an yang Allah jelas menyuruh kaum perempuan untuk menutup perhiasan mereka.
Ia juga sangat ingat sebuah hadis tentang perjalanan Rasulullah ketika malakukan
Isra’ Mi’raj. Rasulullah sampai menangis kala melihat kaum perempuan yang
disiksa di Neraka. Salah satunya beliau melihat wanita yang digantung rambutnya
dan otak kepalanya mendidih. Wanita yang digantung dengan rambutnya dan otak
kepalanya mendidih adalah wanita yang tidak mau menutupi rambutnya dari
pandangan laki-laki yang bukan mahram.
Sinta beristigfar berkali-kali dalam hatinya.
Nayla memanggil
Sinta dari pintu. Ia heran melihat Sinta menangis. “Loh, Sin kenapa? Kamu
menangis?”
“Eh, enggak kok,
aku nggak nangis. Kucing mungkin yang nangis,” selanya dengan gurau. Sinta
terkaget dan berusaha menutupi
kesedihannya. “Tidak sekarang waktu membahasnya,” bicaranya dalam hati.
Suara muadzin
merdu menyapa semesta kota. Adzan menggema indah. Memanggil-manggil manusia
untuk segera ruku’ dan sujud kepada-Nya. Memanggil-manggil manusia menghentikan
semua aktifitasnya untuk segera ruku’ dan sujud di atas sajadah cinta.
Diatas dua
sajadah cinta, Nayla dan Sinta bersimpuh memuji Tuhannya. “Nayla, kamu sangat
cantik dengan mukenah ini. Sangat cantik. Aku merindukanmu seperti ini. Cantik
dengan pakaian taqwa,” puji Sinta dalam hati.
***
Nayla
mengingatnya. Mengingat kejadian Lebaran tahun lalu di rumahnya, Banyuwangi,
Jawa Timur.
“Nayla, kamu
tambah cantik dan anggun kalau pakai jilbab,” komentar Emaknya.
“Iya kah Mak?” Komentar
Emak membuatnya merasa tersanjung. Nayla segera berjalan memasuki kamarnya.
Segera ia berdiri di depan cermin di samping pintu kamar. Ia tersenyum melihat
dirinya sendiri. Nayla menelusuri setiap sisi bayangan dirinya dalam cermin
itu. Ia mulai memutar otaknya memikirkan sesuatu. “Benar, aku memang cantik
dengan jilbab putih ini.”
“Tapi aku belum
siap seperti ini. Aku belum siap. Ya, aku belum siap dengan pakaian suci ini.
Aku takut jika nanti aku menodai jilbab putih ini. Aku takut jika nanti aku
mengotori pakaian suci ini. Aku belum siap. Aku takut jika aku tidak bisa menjaganya,
menjaga kemuliaan itu,” erangnya dalam hati.
“Lalu kapan aku
siapnya?” tiba-tiba pertanyaan itu muncul dalam hatinya.
“Nayla, apakah
kamu mau meninggal dalam keadaan hina hanya karena rambut hitammu masih
melambai bebas dilihat laki-laki yang bukan muhrimmu? Apa kamu tega ayahmu
disiksa di Neraka karena putri kesayangannya tidak memakai jilbab? Apa kamu mau
suamimu kelak mendapatkan seorang Nayla yang cantik tapi cantik tubuhnya bebas
dilihat semua laki-laki? Apa kamu mau Nayla?” pertanyaan-pertanyaan itu mulai
menghujani hatinya. Entah pertanyaan itu dari mana datangnya tapi tanya itu
sangat mengobrak-abrik otak dan hatinya.
“Tapi aku belum
siap! Aku belum siap!! Aku belum siap, Allah aku belum siap!!!” tegasnya dalam hati. Setetes air bening berlayar
di pipi halusnya. Menjadi saksi bisu pergulatan tanya yang menghujam hatinya.
Kebingungan yang mendalam. Keinginan yang sangat, namun ia tetap keukeh bahwa
ia belum siap. Nayla belum siap.
***
“Nayla!!” tegur
Ara, teman satu kontrakannya. Nayla sontak kaget dari lamunannya akan masa lalu.
“Jangan bengong Nay, mending bantu aku selesaikan tugas laporan biologi, haha.
Mikiran apa sih? Kok smpai segitunya,” tanya Ara penasaran.
Dengan senyumnya
yang khas, Nayla menjawab pertanyaan Ara. “Enggak ada apa-apa kok Ra, hehe.” Dua
kakinya berlalu meninggalkan Ara sendiri di ruang tamu. “Loh kok jadi aku yang
ditinggal? Padahal kan kesini sengaja mau nemenin dia,” kesal Ara.
Dua hari sudah
Sinta pamit pulang untuk kembali ke Bandung. Ia masih mengingat kehadiran
Sinta. Sinta yang lembut dan baik. Sinta yang anggun dengan pakaian taqwanya.
Sinta yang cantik dengan jilbab anggunya.
Hening. Kamar
Nayla disapu keheningan. Diatas kursi, Nayla membuka diary dan menuliskan
sesuatu disana. “Aku ingin seperti Sinta. Aku ingin seperti muslimah yang lain.
Cantik dan terjaga. Tapi aku? Aku belum siap. Aku takut menodai kemuliaan itu.”
***
Mahasiswa menghambur
diri keluar dari ruang kelas tidak terkecuali Nayla. Surya masih tepat diatas kepala manusia. Keluar
dari gedung GPP ia segera menuju masjid Fakultas Kedokteran, UB. Percikan bening
air wudhu menyentuh segar wajah, tangan, dan kakinya. Memantulkan cahaya di
lukisan indah wajahnya. Ruku’ dan sujud dengan tuma’ninah. Menengadahkan tangan
meminta sesuatu dalam hati kepada Tuhannya.
“Assalamu’alaikum,”
salam menyapanya dari seorang muslimah di belakangnya.
“Wa’alaikumsalam,”
jawabnya dengan senyum. “Mbak Sari ya, senang berjumpa dengan mbak lagi. Tambah
cantik aja nih mbak Sari,” pujinya. Mereka berjabat tangan menggugurkan
daun-daun dosa. Sari adalah salah satu muslimah yang dikagumi Nayla. Ia
mengenalnya saat Sari tengah menjadi pembicara dalam sebuah acara seminar di
fakultasnya.
“Nayla mau
pulang? Bareng mbak aja yuk. Kebetulan ini juga mau pulang,” tawar Sari. Tanpa
basa-basi Nayla mengangguk dengan senyumnya.
Mereka berdua
meninggalkan Masjid Nurul Syifa menuju parkiran motor mahasiswa. Rumput
bergoyang dikibas angin. Tiga mahasiswi berkerudung lebar berpapasan dengan mereka.
Memberikan salam dan senyumnya. Setetes embun seperti menjatuhi dua bola mata
Nayla. Sejuk rasanya melihat tiga mahasiswi dan orang yang ada di sampingnya.
Seolah muslimah-muslimah itu seperti permata yang sangat mahal harganya.
Motor hitam
meninggalkan parkiran. Nayla yang duduk di belakang Sari memulai pembicaraan.
Menanyakan kabar Sari, bercerita tentang kuliahnya, menanyakan beberapa
pertanyaan, dan kemudian Hening. Seolah kehabisan bahan pembicaraan. Sesaat
kemudian Nayla berucap. “Mbak Sari cantik. Secantik kerudungnya.”
***
Dengan setir yang
masih terjaga, Sari tersenyum mendengarnya. “Makasih dinda,” balasnya. Beberapa
menit berlalu dengan keheningan kembali. Mesin motor berhenti berderum. Nayla
turun dan meminta Sari untuk singgah sebentar. Di teras kontrakannya mereka
duduk diatas dipan beralas karpet merah. Dia sudah lelah menyimpan kegalauan
hati untuk berjilbab dengan semua alasan penolakannya.
Satu patah dua
patah kata pembuka berlalu dari mulutnya. Sari sepertinya sudah tahu maksud
pembicaraannya. Sari tersenyum menerka. Nayla membuka inti pembicaraan. “Mbak Sari.
Hatiku gusar. Umurku sudah 21 tahun. Tapi aku belum siap untuk memakai jilbab.
Jiwaku takut mbak. Takut. Takut jika aku belum bisa menjaganya. Takut jika aku
menodai jilbabku,” Nayla menatap mata Sari mencari jawaban kegusarannya.
“Nayla, jujur.
Dari dulu mbak merindukanmu memakai jilbab,” sambil memegang tangan Nayla.
Senyap. Nayla
menatap bola mata orang yang ada di depannya. Ia menunggu Sari meneruskan
kalimatnya.
“Nayla. Jujur. Kamu
sangan cantik. Rambutmu indah. Alangkah eloknya jika keindahanmu itu terjaga
untuk suamimu kelak. Nayla sayang. Allah jelas-jelas menyuruhmu dan kaum wanita
yang lain untuk menutupi perhiasannya. Untuk apa? Apakah untuk Allah? Bukan.
Bukan Nayla. Allah menyuruh seperti itu untuk kita sendiri. Agar kita terjaga
dari keburukan. Agar kita terjaga dari mata liar.”
Setetes embun
terjatuh membasahi karpet merah. Nayla tertunduk. Hatinya seperti tercakar ribuan
kuku yang tajam. “Mbak Sari, aku ingin menjilbabi hatiku dulu. Hatiku ini masih
jauh dari baik. Aku malu jika nanti aku menodainya karena kelakuan burukku.”
Isaknya menelan keheningan.
“Nayla, adikku. Hati
itu tidak bisa dijilbabi. Hati itu hanya bisa dijaga. Bagaimana menjaganya?
Menjaganya yaitu dengan taqwa. Menjaganya dengan ibadah. Menjaganya dengan
cinta kepada Allah. Menjaganya dengan takut pada murka Allah.” Jemari Sari
menyapu halus aliran bening di pipi Nayla. “Nayla. Apakah menurutmu berjilbab
itu bukan sebuah ibadah?”
Nayla menoleh
Sari. Dia diam dan tertunduk lagi. Sari bertanya lagi. “Nayla. Apakah menurutmu
berjilbab itu bukan sebuah ibadah? Apakah menurutmu menjuntaikan pakaian untuk menutup
perhiasan wanita itu bukan sebuah ibadah?”
“Iba..dah… mbak,”
jawabnya terbata. “Apakah Nay bisa jamin semua ibadah yang telah Nayla lakukan
sampai sekarang seperti sholat, puasa, dan zakat benar-benar diterima oleh
Allah?” Nayla terdiam seakan bisu. Sari membuka Al-Qur’annya. Nayla disuruh
membaca arti ayat ke lima dari surat Al-Ma’idah. “…Barang siapa yang
mengingkari hukum-hukum syariat Islam sesudah beriman, maka hapuslah pahala
amalnya bahkan di akhirat dia termasuk orang-orang yang merugi.”
“Sekarang Ayo
kita pikir. Memakai jilbab bagi kaum perempuan adalah hukum Syariat Islam atau
tidak Nay?” Sari terus membuat Nayla untuk berpikir. Nayla masih dalam diamnya.
Hening. Sari
menunggu jawaban Nayla. Satu menit mereka dalam keheningan. “I….ya… mbak,” masih terbata. Sari meneruskan.
“Iya benar Nay, dalam Qur’an Surat An-Nur ayat ke 31 sudah jelas bahwa Allah menyuruh
kaum perempuan yang beriman untuk berjilbab. Itu tandanya berjilbab merupakan
hukum syariat Islam. Jadi, jika kaum wanita yang tidak memakainya, mereka telah
mengingkari hukum Syariat Islam. Apa akibatnya Nay jika mereka mengingkarinya?”
Sari ingin Nayla membuat kesimpulan sendiri.
Matanya berkaca.
Air mata terjatuh. Nayla menjawab “hapuslah semua amalnya di dunia mbak…. Dan
mereka termasuk orang yang merugi di akhirat.”
“Nayla sudah tau
jawabannya. Penjelasan mbak tadi juga bisa dianalogikakan seperti ini. Segelas
susu adalah enak jika diminum. Tapi jika dalam susu tersebut kita tahu ada
kotoran cicaknya, kita tidak membuang kotoran cicak itu lalu meminum susunya,
tapi kita membuang seluruh susu tersebut.” Sari tersenyum menatap Nayla. “Apa Nay
sekarang masih takut dan ragu untuk segera berjilbab?”
“Nayla takut
tidak bisa menjaganya. Nayla takut menodainya mbak,” tetap saja ia bergumam
dengan alasannya. “Apakah Nay tidak takut dengan Allah? Dengan siksa Allah?
Dengan murka Allah? Nay?” suara Sari halus bertanya kepada Nayla.
“Astagfirullah…Astagfirullah…Ya Allah……. Sesombong ini kah aku kepada-Nya mbak?
Seberani ini kah aku kepada-Nya mbak? Astagfirullah…,” jemarinya yang halus
mengusap air yang berjatuhan di layar pipinya.
Ia memeluk Sari
dengan isak tangis bersalah. Ia sadar, selama ini semua alasan yang membuat
dirinya ragu untuk berjilbab adalah alasan dari syaitan semua. Alasan yang
mungkin seperti sebuah alasan putih. Karena alasannya takut jika nantinya akan
menodai kesucian jilbab. Tapi ia sadar. Bahwa itu semua adalah dari syaitan.
Syaitan melarang Nayla berjilbab dengan tawaran alasan-alasan yang halus.
***
Senja menuai
datang. Langit indah dengan mega merahnya. Sudah dua jam yang lalu Sari pamit
pulang dengan memberi pesan semangat kepada Nayla. Ada hati yang telah mantap
untuk berjilbab. Ada hati yang mantap menjaga semua perhiasan yang ada pada
dirinya. Hati itu kini tersenyum menyambut cahaya terang. Hati Nayla Wulan sari.
Diambilnya sajadah
biru di dalam lemari. Bersujud sangat khusyuk kepada Tuhannya. Lantunan do’a ia
suarakan. Sebait doa’nya, “…Terima kasih Allah, hidayah ini sangat indah.
Ijinkan aku menjadi muslimah Syurga yang sayap-sayap taqwanya mengantarku
terbang ke Syurga.”
Surat An-Nur
terdengar merdu dari bibir gadis nan jelita. Nayla menikmati setiap huruf yang
ia baca. Irama yang merdu menambah khusyuk suasana. Ia tidak menggeser duduknya
karena begitu nikmat ia membaca ayat-ayat cinta itu. Adzan Isya’ pun terdengar
dari sound masjid. Nayla segera
berdiri untuk melanjutkan sholat isya’. Kali ini ia mengajak lima teman
kontrakannya untuk sholat berjama’ah bersamanya.
***
Satu tahun telah
berlalu. Masa-masa awal ia memakai jilbab mendapat respon yang baik dari
teman-temannya. Namun ada beberapa teman kampusnya yang tidak suka dengan
perubahan Nayla. “Sangat nyaman aku bersama jilbab ini, sangat nyaman aku
bersama pakaian taqwa ini. Dia menjagaku. Dia melindungiku,” gumam Nayla dalam
hati, ketika melihat seorang perempuan digoda oleh laki-laki nakal karena
auratnya terbuka. Saat itu ia sedang melakukan perjalanan pulang ke Banyuwangi
karena Skripsinya lulus dengan nilai A. Nayla ingin langsung memberitahukan
kepada Emaknya bahwa ia sudah lulus.
Di dalam bus,
Nayla ingat penilaian salah satu temannya, “Untuk apa berjilbab Nayla, sekarang
bumi lagi panas-panasnya. Malah kamu pakai jilbab. Nayla… Nayla…” Dia tersenyum
mengingatnya. “Panas di bumi ini tidak ada apa-apanya dari panasnya Neraka,”
jawabnya saat itu. Nayla tersenyum sendiri mengingatnya.
Tiba-tiba Nayla ingat
kejadian satu tahun lalu saat ia telah usai menunaikan sholat isya’ berjama’ah
bersama teman-teman kontrakannya. Saat Nayla menaruh sajadah di dalam lemari
bagian bawah, tanpa sengaja ia menyentuh sebuah plastik hitam. Nayla heran
karena ia merasa tidak pernah menaruh plastik hitam di dalam lemari. Tangannya
meraih plastik itu.
Pelan Nayla
membukanya. Sebuah surat dan kerudung panjang warna putih. Ia membuka amplop
biru yang ada di dalam plastik hitam. Membukanya dengan pelan. “Dari Sinta.” Ia
kaget membacanya.
Nayla meneruskan.
“Nayla sahabatku. Aku begitu mencintaimu. Ingin sekali aku mengutarakan sesuatu
kepadamu saat sehari bersamamu di Malang. Tapi, aku merasa bukan itu saat yang
tepat. Akhirnya aku memutuskan menulis surat ini. Nayla terkasih, aku merasa
bersalah karena aku belum bisa mengajakmu untuk sepertiku. Memakai jilbab. Saat
kau mendapatiku menangis di kamarmu, sebenarnya aku memang menangis. Menangis
karena belum bisa melihatmu mengenakan pakaian taqwa ini. Aku ingin bertemu
denganmu dengan memakai jilbab putih dalam plastik ini. Ingin sekali sahabatku.
Nayla, jilbab akan menjagamu. Menjagamu dari kejahatan. Menjagamu dari
keburukan. Menjagamu dari mata liar. Juga insyaallah akan menjagamu dari
jilatan api Neraka. Aku ingat sekali dengan sebuah hadis tentang perjalanan
Rasulullah ketika malakukan Isra’ Mi’raj. Rasulullah sampai menangis kala melihat
kaum perempuan yang disiksa di Neraka. Salah satunya beliau melihat wanita yang
digantung rambutnya dan otak kepalanya mendidih. Wanita yang digantung dengan
rambutnya dan otak kepalanya mendidih adalah wanita yang tidak mau menutupi
rambutnya dari pandangan laki-laki yang
bukan mahram. Aku tidak mau sahabatku yang cantik ini terbakar dan tersiksa di
tempat paling menyiksa itu. Aku mencintaimu Nayla, aku ingin bertemu denganmu
dengan jilbab putih ini. Aku ingin berjumpa denganmu dengan pakaian taqwamu.
Nayla. Aku ingin melihatmu dengan jilbab putih ini.”
Kala itu Nayla
menangis membacanya. Ia segera menelepon Sinta. Rasa terima kasih ia ungkapkan
kepada Sinta. Ia berkata kepada Sinta bahwa setelah sidang skripsi, Nayla akan
menemuinya di Bandung.
“Memang benar.
Jilbab menjagaku dari keburukan.”
***
Empat jam di Bus
akhirnya ia sampai di daerah rumahnya. Ia ingin cepat-cepat sampai rumah untuk
memberitahukan kabar gembira kepada Emak yang sangat dicintainya. Sampai di rumah
ia segera mencium kaki Emaknya. Emaknya terkaget. Kemudian menanyakan kenapa
Nayla sampai seperti itu. Mendengar penuturan dari mulut Nayla, Emaknya
menangis dan segera memeluk Nayla. Begitu bangga membuncah memiliki anak
seperti Nayla. Sholihah, pintar, cantik, dan sangat memuliakan ibunya.
Sehari di rumah,
Nayla meminta ijin kepada Emaknya untuk berangkat ke Bandung menemui Sinta. Ia
sengaja tidak memberitahu Sinta tentang keberangkatannya. Ia membawakan
kerudung putih yang baru ia belikan dari Malang. Dalam bus, Nayla tiba-tiba
sangat merindukan Sinta. Ia merasa ingin sekali cepat-cepat bertemu dengan sahabatnya
itu.
Jum’at pagi ia
tiba di Bandung. Dengan memakai kerudung putih pemberian Sinta, Nayla semangat
menemui sahabatnya. Bermodal alamat Sinta yang disimpannya, Nayla segera pergi
ke alamat itu. Tanya tukang sapu, tanya ibu-ibu, tanya ke sana, tanya ke situ,
dan akhirnya ketemu alamatnya. Nayla heran, kenapa rumah ber cat putih itu
banyak orangnya.
“Mbak, permisi.
Ini benar alamat kosnya Sinta Anita Putri?” tanyanya.
“Iya benar mbak.
Mbak ini siapanya Sinta ya?” tanya wanita itu setengah penasaran.
Dengan senyumnya
Nayla menjawab. “Saya sahabatnya mbak.”
Tiba-tiba wajah
Nayla berupa pucat tak percaya mendengar penuturan wanita itu. Sinta Meninggal.
“Innalillahi wa innailaihi raji’un…” Kantong berisi jilbab putih untuk Sinta
terjatuh. Nayla tak percaya. Ia segera masuk ingin melihat sendiri kebenarannya.
Benar. Sinta telah tiada. Tidak ada lagi dua sejoli. Tidak ada lagi Sinta yang
sering memencet-mencet hidung pesek Nayla.
“Sin….ta…..”
Nayla terbata memanggil nama itu. Muslimah anggun itu pun menangis. “Rupanya
ini yang membuat aku begitu merindukannya dan ingin segera bertemu dengannya.
Rupanya ini,” katanya dalam hati.
“Sinta meninggal
dengan senyumnya. Di hari jum’at setelah sholat subuh. Kemungkinan ia meninggal
ketika mengaji Al-Qur’an , karena ia meninggal dalam keadaan masih memakai
mukenah dan mushof Al-Qur’an yang masih menempel di tangannya.” Mendengar
penuturan teman Sinta, Nayla merasa sangat bangga memiliki sahabat yang
sholihah seperti dirinya.
Mata Nayla
berkaca. Ia memuji Allah. Begitu bangga kepada Sinta, sahabatnya. “Satu
bidadari Syurga kini telah terbang mengangkasa. Bersama sayap-sayap taqwa yang
membawanya terbang ke Syurga, dialah Muslimah Syurga.”
-THE END-