Jilbab Putih Nayla dan Muslimah Syurga

“Nayla!”
Suara itu bergeming memanggilnya dari kejauhan. Nayla menoleh mencari sumber suara yang ia kenal itu. Tiba-tiba ia melotot melihat sahabat lamanya yang tiba-tiba muncul di depan kedua mata sipitnya.
“Sinta. Benar ini Sinta?” sambil mengucek dua matanya tak percaya.
“Iya Nayla sayang, ini Sinta yang sering pencet-pencet hidungmu dulu, hehe,” sambil memencet hidung Nayla. Saat mereka masih bersama di SMA dulu, Sinta sering sekali memencet hidungnya karena gemas dengan hidung Nayla yang pesek seakan tak bertulang.
Sinta adalah sahabat dekat Nayla. Mereka berteman sejak kelas satu SMA. Begitu dekatnya sampai teman-temannya menyebut mereka dengan sebutan ‘Dua Sejoli’. Nayla masih tak percaya sahabatnya bisa berada di kampusnya, UB. Padahal Sinta kuliah di ITB.
Tidak terasa, rupanya dua sejoli ini sudah tiga tahun tidak bertemu. Nayla terheran dengan sahabatnya. Sinta sudah berubah lebih anggun dari yang terakhir ia lihat. Sinta sekarang berjilbab. Jilbabnya menjuntai panjang menutupi dadanya. Menggetarkan hati Nayla kala memandangnya.
Empat langkah itu beriringan menyusuri jalan dengan suara candaan. Mengeluarkan kerinduan dua hati yang lama tak bertemu pandang. Merekatkan gandeng tangan. Angin menyentuh lembut rambut hitam Nayla dan menyibakkan ujung kerudung biru panjang Sinta. Surya menuai keemasannya, langit memerah karena sinarnya. Burung-burung melayangkan sepasang sayap terbang mengangkasa pulang dan bumi pun merindukan terang sinar bulan.
***
Sore itu juga mereka sampai di kontrakan Nayla. Dengan dua kantong plastik yang dibawanya, Nayla membuka pintu coklat yang ada di dedapannya.
 “Silahkan masuk tuan putri,” candanya terhadap Sinta.
“Terimakasih Pengawal, hehe,” balasnya dengan canda juga.
Nayla mengantar Sinta menuju kamarnya. Mempersilahkan sahabatnya untuk beristirahat. Nayla segera menuju dapur yang berada di pojok kanan rumah untuk menyiapkan wejangan. Sudah tiga tahun lebih Nayla menghuni kontrakan itu. Ia sangat hapal setiap lekuknya, bahkan mungkin juga setiap kejadian yang pernah tertoreh disana. Namun, ruang yang paling Nayla suka setelah kamarnya yaitu dapur.
Sinta menatap setiap sudut ruang kamar Nayla. Rapi, bersih, wangi, dan teratur. Itulah komentarnya dalam hati. Ia tersenyum mengingat sahabatnya. Sahabat yang dicintainya. Tiba-tiba pandangan Sinta tertuju pada foto persegi diatas meja. Foto Nayla.
“Nayla cantik,” pujinya dalam hati. “Dia baik, sangat baik. Hatiya seperti menolak melakukan sesuatu yang buruk. Dia juga pandai dan mandiri. Kuliah saja gratis. Tapi sayang, dia belum mengambil pakaian taqwa itu. Tapi sayang, dia belum memakai jilbab itu.”
Tiba-tiba rasa bersalah dan menyesal menghampiri hati dan otak Sinta. Ia sangat merasa bersalah karena ia belum bisa menyaksikan sahabatnya cantik dengan balutan baju yang menutupi semua perhiasannya. Ia merasa menyesal karena ia belum berhasil mengajak sahabatnya seperti dirinya. Terjaga dengan pakaian taqwanya dan indah dengan kerudung panjangnya.
Embun matanya menetes dari ujung dua mata. Ia ingat dengan sebuah ayat-ayat cinta dalam Al-Qur’an yang Allah jelas menyuruh kaum perempuan untuk menutup perhiasan mereka. Ia juga sangat ingat sebuah hadis tentang perjalanan Rasulullah ketika malakukan Isra’ Mi’raj. Rasulullah sampai menangis kala melihat kaum perempuan yang disiksa di Neraka. Salah satunya beliau melihat wanita yang digantung rambutnya dan otak kepalanya mendidih. Wanita yang digantung dengan rambutnya dan otak kepalanya mendidih adalah wanita yang tidak mau menutupi rambutnya dari pandangan laki-laki  yang bukan mahram. Sinta beristigfar berkali-kali dalam hatinya.
Nayla memanggil Sinta dari pintu. Ia heran melihat Sinta menangis. “Loh, Sin kenapa? Kamu menangis?”
“Eh, enggak kok, aku nggak nangis. Kucing mungkin yang nangis,” selanya dengan gurau. Sinta terkaget dan  berusaha menutupi kesedihannya. “Tidak sekarang waktu membahasnya,” bicaranya dalam hati.
Suara muadzin merdu menyapa semesta kota. Adzan menggema indah. Memanggil-manggil manusia untuk segera ruku’ dan sujud kepada-Nya. Memanggil-manggil manusia menghentikan semua aktifitasnya untuk segera ruku’ dan sujud di atas sajadah cinta.
Diatas dua sajadah cinta, Nayla dan Sinta bersimpuh memuji Tuhannya. “Nayla, kamu sangat cantik dengan mukenah ini. Sangat cantik. Aku merindukanmu seperti ini. Cantik dengan pakaian taqwa,” puji Sinta dalam hati.
***
Nayla mengingatnya. Mengingat kejadian Lebaran tahun lalu di rumahnya, Banyuwangi, Jawa Timur.
“Nayla, kamu tambah cantik dan anggun kalau pakai jilbab,” komentar Emaknya.
“Iya kah Mak?” Komentar Emak membuatnya merasa tersanjung. Nayla segera berjalan memasuki kamarnya. Segera ia berdiri di depan cermin di samping pintu kamar. Ia tersenyum melihat dirinya sendiri. Nayla menelusuri setiap sisi bayangan dirinya dalam cermin itu. Ia mulai memutar otaknya memikirkan sesuatu. “Benar, aku memang cantik dengan jilbab putih ini.”
“Tapi aku belum siap seperti ini. Aku belum siap. Ya, aku belum siap dengan pakaian suci ini. Aku takut jika nanti aku menodai jilbab putih ini. Aku takut jika nanti aku mengotori pakaian suci ini. Aku belum siap. Aku takut jika aku tidak bisa menjaganya, menjaga kemuliaan itu,” erangnya dalam hati.
“Lalu kapan aku siapnya?” tiba-tiba pertanyaan itu muncul dalam hatinya.
“Nayla, apakah kamu mau meninggal dalam keadaan hina hanya karena rambut hitammu masih melambai bebas dilihat laki-laki yang bukan muhrimmu? Apa kamu tega ayahmu disiksa di Neraka karena putri kesayangannya tidak memakai jilbab? Apa kamu mau suamimu kelak mendapatkan seorang Nayla yang cantik tapi cantik tubuhnya bebas dilihat semua laki-laki? Apa kamu mau Nayla?” pertanyaan-pertanyaan itu mulai menghujani hatinya. Entah pertanyaan itu dari mana datangnya tapi tanya itu sangat mengobrak-abrik otak dan hatinya.
“Tapi aku belum siap! Aku belum siap!! Aku belum siap, Allah aku belum siap!!!”  tegasnya dalam hati. Setetes air bening berlayar di pipi halusnya. Menjadi saksi bisu pergulatan tanya yang menghujam hatinya. Kebingungan yang mendalam. Keinginan yang sangat, namun ia tetap keukeh bahwa ia belum siap. Nayla belum siap.
***
“Nayla!!” tegur Ara, teman satu kontrakannya. Nayla sontak kaget dari lamunannya akan masa lalu. “Jangan bengong Nay, mending bantu aku selesaikan tugas laporan biologi, haha. Mikiran apa sih? Kok smpai segitunya,” tanya Ara penasaran.
Dengan senyumnya yang khas, Nayla menjawab pertanyaan Ara. “Enggak ada apa-apa kok Ra, hehe.” Dua kakinya berlalu meninggalkan Ara sendiri di ruang tamu. “Loh kok jadi aku yang ditinggal? Padahal kan kesini sengaja mau nemenin dia,” kesal Ara.
Dua hari sudah Sinta pamit pulang untuk kembali ke Bandung. Ia masih mengingat kehadiran Sinta. Sinta yang lembut dan baik. Sinta yang anggun dengan pakaian taqwanya. Sinta yang cantik dengan jilbab anggunya.
Hening. Kamar Nayla disapu keheningan. Diatas kursi, Nayla membuka diary dan menuliskan sesuatu disana. “Aku ingin seperti Sinta. Aku ingin seperti muslimah yang lain. Cantik dan terjaga. Tapi aku? Aku belum siap. Aku takut menodai kemuliaan itu.”
***
Mahasiswa menghambur diri keluar dari ruang kelas tidak terkecuali Nayla.  Surya masih tepat diatas kepala manusia. Keluar dari gedung GPP ia segera menuju masjid Fakultas Kedokteran, UB. Percikan bening air wudhu menyentuh segar wajah, tangan, dan kakinya. Memantulkan cahaya di lukisan indah wajahnya. Ruku’ dan sujud dengan tuma’ninah. Menengadahkan tangan meminta sesuatu dalam hati kepada Tuhannya.
“Assalamu’alaikum,” salam menyapanya dari seorang muslimah di belakangnya.
“Wa’alaikumsalam,” jawabnya dengan senyum. “Mbak Sari ya, senang berjumpa dengan mbak lagi. Tambah cantik aja nih mbak Sari,” pujinya. Mereka berjabat tangan menggugurkan daun-daun dosa. Sari adalah salah satu muslimah yang dikagumi Nayla. Ia mengenalnya saat Sari tengah menjadi pembicara dalam sebuah acara seminar di fakultasnya.
“Nayla mau pulang? Bareng mbak aja yuk. Kebetulan ini juga mau pulang,” tawar Sari. Tanpa basa-basi Nayla mengangguk dengan senyumnya. 
Mereka berdua meninggalkan Masjid Nurul Syifa menuju parkiran motor mahasiswa. Rumput bergoyang dikibas angin. Tiga mahasiswi berkerudung lebar berpapasan dengan mereka. Memberikan salam dan senyumnya. Setetes embun seperti menjatuhi dua bola mata Nayla. Sejuk rasanya melihat tiga mahasiswi dan orang yang ada di sampingnya. Seolah muslimah-muslimah itu seperti permata yang sangat mahal harganya.
Motor hitam meninggalkan parkiran. Nayla yang duduk di belakang Sari memulai pembicaraan. Menanyakan kabar Sari, bercerita tentang kuliahnya, menanyakan beberapa pertanyaan, dan kemudian Hening. Seolah kehabisan bahan pembicaraan. Sesaat kemudian Nayla berucap. “Mbak Sari cantik. Secantik kerudungnya.”
***
Dengan setir yang masih terjaga, Sari tersenyum mendengarnya. “Makasih dinda,” balasnya. Beberapa menit berlalu dengan keheningan kembali. Mesin motor berhenti berderum. Nayla turun dan meminta Sari untuk singgah sebentar. Di teras kontrakannya mereka duduk diatas dipan beralas karpet merah. Dia sudah lelah menyimpan kegalauan hati untuk berjilbab dengan semua alasan penolakannya.
Satu patah dua patah kata pembuka berlalu dari mulutnya. Sari sepertinya sudah tahu maksud pembicaraannya. Sari tersenyum menerka. Nayla membuka inti pembicaraan. “Mbak Sari. Hatiku gusar. Umurku sudah 21 tahun. Tapi aku belum siap untuk memakai jilbab. Jiwaku takut mbak. Takut. Takut jika aku belum bisa menjaganya. Takut jika aku menodai jilbabku,” Nayla menatap mata Sari mencari jawaban kegusarannya.
“Nayla, jujur. Dari dulu mbak merindukanmu memakai jilbab,” sambil memegang tangan Nayla.
Senyap. Nayla menatap bola mata orang yang ada di depannya. Ia menunggu Sari meneruskan kalimatnya.
“Nayla. Jujur. Kamu sangan cantik. Rambutmu indah. Alangkah eloknya jika keindahanmu itu terjaga untuk suamimu kelak. Nayla sayang. Allah jelas-jelas menyuruhmu dan kaum wanita yang lain untuk menutupi perhiasannya. Untuk apa? Apakah untuk Allah? Bukan. Bukan Nayla. Allah menyuruh seperti itu untuk kita sendiri. Agar kita terjaga dari keburukan. Agar kita terjaga dari mata liar.”
Setetes embun terjatuh membasahi karpet merah. Nayla tertunduk. Hatinya seperti tercakar ribuan kuku yang tajam. “Mbak Sari, aku ingin menjilbabi hatiku dulu. Hatiku ini masih jauh dari baik. Aku malu jika nanti aku menodainya karena kelakuan burukku.” Isaknya menelan keheningan.
“Nayla, adikku. Hati itu tidak bisa dijilbabi. Hati itu hanya bisa dijaga. Bagaimana menjaganya? Menjaganya yaitu dengan taqwa. Menjaganya dengan ibadah. Menjaganya dengan cinta kepada Allah. Menjaganya dengan takut pada murka Allah.” Jemari Sari menyapu halus aliran bening di pipi Nayla. “Nayla. Apakah menurutmu berjilbab itu bukan sebuah ibadah?”
Nayla menoleh Sari. Dia diam dan tertunduk lagi. Sari bertanya lagi. “Nayla. Apakah menurutmu berjilbab itu bukan sebuah ibadah? Apakah menurutmu menjuntaikan pakaian untuk menutup perhiasan wanita itu bukan sebuah ibadah?”
“Iba..dah… mbak,” jawabnya terbata. “Apakah Nay bisa jamin semua ibadah yang telah Nayla lakukan sampai sekarang seperti sholat, puasa, dan zakat benar-benar diterima oleh Allah?” Nayla terdiam seakan bisu. Sari membuka Al-Qur’annya. Nayla disuruh membaca arti ayat ke lima dari surat Al-Ma’idah. “…Barang siapa yang mengingkari hukum-hukum syariat Islam sesudah beriman, maka hapuslah pahala amalnya bahkan di akhirat dia termasuk orang-orang yang merugi.”
“Sekarang Ayo kita pikir. Memakai jilbab bagi kaum perempuan adalah hukum Syariat Islam atau tidak Nay?” Sari terus membuat Nayla untuk berpikir. Nayla masih dalam diamnya.
Hening. Sari menunggu jawaban Nayla. Satu menit mereka dalam keheningan.  “I….ya… mbak,” masih terbata. Sari meneruskan. “Iya benar Nay, dalam Qur’an Surat An-Nur ayat ke 31 sudah jelas bahwa Allah menyuruh kaum perempuan yang beriman untuk berjilbab. Itu tandanya berjilbab merupakan hukum syariat Islam. Jadi, jika kaum wanita yang tidak memakainya, mereka telah mengingkari hukum Syariat Islam. Apa akibatnya Nay jika mereka mengingkarinya?” Sari ingin Nayla membuat kesimpulan sendiri.
Matanya berkaca. Air mata terjatuh. Nayla menjawab “hapuslah semua amalnya di dunia mbak…. Dan mereka termasuk orang yang merugi di akhirat.”
“Nayla sudah tau jawabannya. Penjelasan mbak tadi juga bisa dianalogikakan seperti ini. Segelas susu adalah enak jika diminum. Tapi jika dalam susu tersebut kita tahu ada kotoran cicaknya, kita tidak membuang kotoran cicak itu lalu meminum susunya, tapi kita membuang seluruh susu tersebut.” Sari tersenyum menatap Nayla. “Apa Nay sekarang masih takut dan ragu untuk segera berjilbab?”
“Nayla takut tidak bisa menjaganya. Nayla takut menodainya mbak,” tetap saja ia bergumam dengan alasannya. “Apakah Nay tidak takut dengan Allah? Dengan siksa Allah? Dengan murka Allah? Nay?” suara Sari halus bertanya kepada Nayla. “Astagfirullah…Astagfirullah…Ya Allah……. Sesombong ini kah aku kepada-Nya mbak? Seberani ini kah aku kepada-Nya mbak? Astagfirullah…,” jemarinya yang halus mengusap air yang berjatuhan di layar pipinya.
Ia memeluk Sari dengan isak tangis bersalah. Ia sadar, selama ini semua alasan yang membuat dirinya ragu untuk berjilbab adalah alasan dari syaitan semua. Alasan yang mungkin seperti sebuah alasan putih. Karena alasannya takut jika nantinya akan menodai kesucian jilbab. Tapi ia sadar. Bahwa itu semua adalah dari syaitan. Syaitan melarang Nayla berjilbab dengan tawaran alasan-alasan yang halus.
***
Senja menuai datang. Langit indah dengan mega merahnya. Sudah dua jam yang lalu Sari pamit pulang dengan memberi pesan semangat kepada Nayla. Ada hati yang telah mantap untuk berjilbab. Ada hati yang mantap menjaga semua perhiasan yang ada pada dirinya. Hati itu kini tersenyum menyambut cahaya terang. Hati Nayla Wulan sari.
Diambilnya sajadah biru di dalam lemari. Bersujud sangat khusyuk kepada Tuhannya. Lantunan do’a ia suarakan. Sebait doa’nya, “…Terima kasih Allah, hidayah ini sangat indah. Ijinkan aku menjadi muslimah Syurga yang sayap-sayap taqwanya mengantarku terbang ke Syurga.”
Surat An-Nur terdengar merdu dari bibir gadis nan jelita. Nayla menikmati setiap huruf yang ia baca. Irama yang merdu menambah khusyuk suasana. Ia tidak menggeser duduknya karena begitu nikmat ia membaca ayat-ayat cinta itu. Adzan Isya’ pun terdengar dari sound masjid. Nayla segera berdiri untuk melanjutkan sholat isya’. Kali ini ia mengajak lima teman kontrakannya untuk sholat berjama’ah bersamanya.
***
Satu tahun telah berlalu. Masa-masa awal ia memakai jilbab mendapat respon yang baik dari teman-temannya. Namun ada beberapa teman kampusnya yang tidak suka dengan perubahan Nayla. “Sangat nyaman aku bersama jilbab ini, sangat nyaman aku bersama pakaian taqwa ini. Dia menjagaku. Dia melindungiku,” gumam Nayla dalam hati, ketika melihat seorang perempuan digoda oleh laki-laki nakal karena auratnya terbuka. Saat itu ia sedang melakukan perjalanan pulang ke Banyuwangi karena Skripsinya lulus dengan nilai A. Nayla ingin langsung memberitahukan kepada Emaknya bahwa ia sudah lulus.
Di dalam bus, Nayla ingat penilaian salah satu temannya, “Untuk apa berjilbab Nayla, sekarang bumi lagi panas-panasnya. Malah kamu pakai jilbab. Nayla… Nayla…” Dia tersenyum mengingatnya. “Panas di bumi ini tidak ada apa-apanya dari panasnya Neraka,” jawabnya saat itu. Nayla tersenyum sendiri mengingatnya.
Tiba-tiba Nayla ingat kejadian satu tahun lalu saat ia telah usai menunaikan sholat isya’ berjama’ah bersama teman-teman kontrakannya. Saat Nayla menaruh sajadah di dalam lemari bagian bawah, tanpa sengaja ia menyentuh sebuah plastik hitam. Nayla heran karena ia merasa tidak pernah menaruh plastik hitam di dalam lemari. Tangannya meraih plastik itu.
Pelan Nayla membukanya. Sebuah surat dan kerudung panjang warna putih. Ia membuka amplop biru yang ada di dalam plastik hitam. Membukanya dengan pelan. “Dari Sinta.” Ia kaget membacanya.
Nayla meneruskan. “Nayla sahabatku. Aku begitu mencintaimu. Ingin sekali aku mengutarakan sesuatu kepadamu saat sehari bersamamu di Malang. Tapi, aku merasa bukan itu saat yang tepat. Akhirnya aku memutuskan menulis surat ini. Nayla terkasih, aku merasa bersalah karena aku belum bisa mengajakmu untuk sepertiku. Memakai jilbab. Saat kau mendapatiku menangis di kamarmu, sebenarnya aku memang menangis. Menangis karena belum bisa melihatmu mengenakan pakaian taqwa ini. Aku ingin bertemu denganmu dengan memakai jilbab putih dalam plastik ini. Ingin sekali sahabatku. Nayla, jilbab akan menjagamu. Menjagamu dari kejahatan. Menjagamu dari keburukan. Menjagamu dari mata liar. Juga insyaallah akan menjagamu dari jilatan api Neraka. Aku ingat sekali dengan sebuah hadis tentang perjalanan Rasulullah ketika malakukan Isra’ Mi’raj. Rasulullah sampai menangis kala melihat kaum perempuan yang disiksa di Neraka. Salah satunya beliau melihat wanita yang digantung rambutnya dan otak kepalanya mendidih. Wanita yang digantung dengan rambutnya dan otak kepalanya mendidih adalah wanita yang tidak mau menutupi rambutnya dari pandangan laki-laki  yang bukan mahram. Aku tidak mau sahabatku yang cantik ini terbakar dan tersiksa di tempat paling menyiksa itu. Aku mencintaimu Nayla, aku ingin bertemu denganmu dengan jilbab putih ini. Aku ingin berjumpa denganmu dengan pakaian taqwamu. Nayla. Aku ingin melihatmu dengan jilbab putih ini.”
Kala itu Nayla menangis membacanya. Ia segera menelepon Sinta. Rasa terima kasih ia ungkapkan kepada Sinta. Ia berkata kepada Sinta bahwa setelah sidang skripsi, Nayla akan menemuinya di Bandung.
“Memang benar. Jilbab menjagaku dari keburukan.”
***
Empat jam di Bus akhirnya ia sampai di daerah rumahnya. Ia ingin cepat-cepat sampai rumah untuk memberitahukan kabar gembira kepada Emak yang sangat dicintainya. Sampai di rumah ia segera mencium kaki Emaknya. Emaknya terkaget. Kemudian menanyakan kenapa Nayla sampai seperti itu. Mendengar penuturan dari mulut Nayla, Emaknya menangis dan segera memeluk Nayla. Begitu bangga membuncah memiliki anak seperti Nayla. Sholihah, pintar, cantik, dan sangat memuliakan ibunya.
Sehari di rumah, Nayla meminta ijin kepada Emaknya untuk berangkat ke Bandung menemui Sinta. Ia sengaja tidak memberitahu Sinta tentang keberangkatannya. Ia membawakan kerudung putih yang baru ia belikan dari Malang. Dalam bus, Nayla tiba-tiba sangat merindukan Sinta. Ia merasa ingin sekali cepat-cepat bertemu dengan sahabatnya itu.
Jum’at pagi ia tiba di Bandung. Dengan memakai kerudung putih pemberian Sinta, Nayla semangat menemui sahabatnya. Bermodal alamat Sinta yang disimpannya, Nayla segera pergi ke alamat itu. Tanya tukang sapu, tanya ibu-ibu, tanya ke sana, tanya ke situ, dan akhirnya ketemu alamatnya. Nayla heran, kenapa rumah ber cat putih itu banyak orangnya.
“Mbak, permisi. Ini benar alamat kosnya Sinta Anita Putri?” tanyanya.
“Iya benar mbak. Mbak ini siapanya Sinta ya?” tanya wanita itu setengah penasaran.
Dengan senyumnya Nayla menjawab. “Saya sahabatnya mbak.”
Tiba-tiba wajah Nayla berupa pucat tak percaya mendengar penuturan wanita itu. Sinta Meninggal. “Innalillahi wa innailaihi raji’un…” Kantong berisi jilbab putih untuk Sinta terjatuh. Nayla tak percaya. Ia segera masuk ingin melihat sendiri kebenarannya. Benar. Sinta telah tiada. Tidak ada lagi dua sejoli. Tidak ada lagi Sinta yang sering memencet-mencet hidung pesek Nayla.
“Sin….ta…..” Nayla terbata memanggil nama itu. Muslimah anggun itu pun menangis. “Rupanya ini yang membuat aku begitu merindukannya dan ingin segera bertemu dengannya. Rupanya ini,” katanya dalam hati.
“Sinta meninggal dengan senyumnya. Di hari jum’at setelah sholat subuh. Kemungkinan ia meninggal ketika mengaji Al-Qur’an , karena ia meninggal dalam keadaan masih memakai mukenah dan mushof Al-Qur’an yang masih menempel di tangannya.” Mendengar penuturan teman Sinta, Nayla merasa sangat bangga memiliki sahabat yang sholihah seperti dirinya.
Mata Nayla berkaca. Ia memuji Allah. Begitu bangga kepada Sinta, sahabatnya. “Satu bidadari Syurga kini telah terbang mengangkasa. Bersama sayap-sayap taqwa yang membawanya terbang ke Syurga, dialah Muslimah Syurga.”

-THE END-


2 komentar:

My Friends